Dalam definisi Manthou’s, Campursari sebenarnya adalah orkes keroncong untuk mengiringi lagu-lagu langgam Jawa. Alat musik yang dipakai Manthou’s adalah kendang bem, kendang ketipung, demung dan gong. Alat ini merupakan balungan atau inti alat musik pentatonis Jawa yang biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu dan gending-gending.
Manthou’s kemudian mencoba menambahkan gender dan siter untuk memperhalus irama. Ternyata, Manthou’s mendapatkan kesesuaian dan merasa cocok, namun ada yang kurang yakni untuk menciptakan greget. Maka dalam perkembangannya, ia menambahkan kibor dan bas. Manthou’s semula tidak memberi nama apapun terhadap musik ciptaannya.
Namun ketika hendak meluncurkan album perdana, terpikirkan untuk membuat ikon khusus yang tepat dan menggambarkan isi di dalamnya. Secara spontan, Manthou’s menyebut kata Campursari. Dan kemudian karena dirasa cocok dan memang aransemen musiknya campuran dari alat musik diatonis-pentatonis, maka istilah itulah yang kemudian dipakai.
Pesinden Sunyahni memberi nama Jamus, kependekan dari Jawa Musik. Akan tetapi, istilah ini kurang begitu popular. Menurut Manthou’s, yang terpenting dari campursari adalah dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah laras. Berpijak dari laras inilah perpaduan antara gamelan- pentatonik dengan musik elektrik-diatonik bisa bertemu sehingga ngenake rasa nikmat dirasakan’.
Dari dua kata kunci inilah Campursari menapaki sejarahnya. Laras dan rasa kedua jenis musik itu tidak ada yang mendominanasi. Jika gamelan mendominasi elektrik, apa yang disebut laras menjadi hilang dan apa yang disebut sebagai ngenake rasa menjadi tak tercapai. Demikian pula sebaliknya. Melalui laras inilah kedua kultur yang berbeda timur dan barat sungguh-sungguh bertemu karena keduanya memang ingin mempunyai makna. Dari sini kita bisa melihat, bahwa jika kultur Jawa terbuka terhadap kultur lain akan diterima oleh kelompok masyarakat luas dan bukan hanya dari kalangan Jawa sendiri.