GUNUNGKIDUL, — Istilah “Sambatan “ mungkin sudah tidak asing lagi bagi warga Gunungkidul. Namun bagi warga di luar Bumi Handayani pasti sangat asing dan tidak mengetahui kegiatan ini.
Penanggung jawab Kajian Warisan, Bidang Warisan Budaya, Kundha Kabudayan Gunungkidul, hadi Rismanto mengatakan, sambatan adalah salah satu kearifan lokal yang selalu dilakukan oleh warga Gunungkidul untuk memecahkan atau menyelesaikan permasalahan sosial khususnya dalam hal pekerjaan umum di lingkungan masyarakat.
“Sambatan merupakan sebuah kegiatan yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita. Sampai sekarang masih terus dilakukan oleh warga Gunungkidul pada suatu kondisi atau momen tertentu,” kata Hadi Rismanto.
Sambatan adalah bentuk nyata dari gotong royong yang dilakukan oleh warga Gunungkidul. Mereka yang melakukan kegiatan ini sukarela atau tanpa paksaan dan tidak ada imbalan khusus yang diberikan.
“Sambatan memiliki makna yang sama dengan gotong royong atau tolong menolong,” tandasnya.
Di Gunungkidul ada banyak hal kegiatan kemasyarakatan yang kemudian menerapkan sistem sambatan. Sebagai contohnya, saat salah seorang warga tertimpa musibah rumahnya rusak akibat bencana alam. Untuk perbaikannya biasanya warga kemudian melakukan sambatan yang mana hamper semua warga di lingkungan tersebut membantu melakukan perbaikan.
“Contoh lainnya yaitu aktivitas produksi bercocok tanam di sawah pemilik lahan kemudian meminta bantuan beberapa orang untuk membantu mengolah lahan,” kata dia.
“Ada juga yang misalnya sedang membangun rumah, nah selain dikerjakan tukang ada bagian yang kemudian harus sambatan. Biasanya saat munggah molo, atau saat pembangunan masjid saat hendak memasang kubah. Atau saat akan ada hajatan dan memasang beberapa piranti yang digunakan untuk perewangan,” tambah Hadi Rismanto.
Lebih lanjut Hadi mengatakan, pada prinsipnya sambatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh agar pekerjaan-pekerjaan umum ini dapat terselesaikan dengan waktu yang singkat dan tidak ada upah yang diberikan oleh pemilik hajat.
“Yang paling utama adalah sambatan menerapkan rasa kekeluargaan yang tinggi. Keterlibatan masyarakat dalam sambatan tanpa unsur keterpaksaan, melainkan kesadaran dari diri pribadi. Sehingga tidak ada sanksi sosial bagi warga yang tidak ikut sambatan,” tandasnya.
Pada tradisi sambatan ini memang tidak ada sistem upah. Namun dari pemilik hajat sendiri biasanya ada yang memberi makan di jam siang. Mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh para warga cukup menguras tenaga.
“Dalam sambatan ada tradisi ingon atau akan siang yang diberikan oleh pemilik hajat itu. Makananya ya disesuaikan dengan kemampuannya, Gunungkidul tidak pernah lepas dari jangan lombok ijo (sayur cabai hijau) dan beberapa jenis makanan lainnya,” terangnya.
Dalam sambatan ini, kerjasama dan pembagian tugas benar-benar diterapkan agar cepat selesai dan tidak memberatkan satu dengan yang lainnya. Menurutnya, untuk yang laki-laki melakukan pekerjaan yang yang berat pada saat sambatan, kemudian untuk yang kaum perempuan focus di dapur untuk menyiapkan pacitan (camilan), wedang (minum), dan ingon (makan berat).
Tradisi yang sudah ada sejak zaman dulu dan turun temurun hingga sekarang ini masih terus dilestarikan. Agar tradisi ini tidak punah dan tetap dilakukan, tahun 2023 lalu pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengusulkan tradisi ini agar dikaji dan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Bumi Handayani.
Butuh proses yang sangat panjang atas usulan tersebut, hasilnya tahun 2025 ini tradisi Sambatan yang merupakan kearifan lokal dari Kabupaten Gunungkidul ini resmi ditetapkan sebagai WBTB oleh pemerintah.
“Puji dan syukur Sambatan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda asli Gunungkidul. PR nya adalah bagaimana tetap mempertahankan tradisi ini di tengah modernisasi yang terus berkembang maju,” tandas dia.
Salah seorang warga Semanu, Sumedi mengatakan, sambatan di daerahnya masih selalu dilakukan. Meski terlalu sering memang, namun masih tetap dilakukan oleh para warga. Kebersamaan warga menurutnya begitu terasa saat melakukan sambatan.
“Biasanya kalau ada yang melakukan perbaikan rumah itu ada yang kemudian sambatan. Ada juga kalau mau pasang tratag dan bersih-bersih rumah untuk hajatan itu juga sambatan. Tradisi ini yang tidak pernah ada di daerah lain mungkin ya,” pungkas dia.