GUNUNGKIDUL – Kabupaten Gunungkidul memiliki satu padukuhan atau dusun yang unik. Yaitu Padukuhan Wota-Wati yang berada di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo.
da banyak hal keunikan dari dusun ini. Mulai dari matahari yang terbit terlambat dan terbenam lebih cepat, hingga bangunan di padukuhan ini yang mirip bangunan pada masa kerajaan. Sehingga banyak yang menyebut rumah di daerah ini mirip dengan zaman kerajaan Majapahit di film-film terdahulu.
IniGunungkidul akan sedikit membahas mengenai Padukuhan Wota-wati ini yang di tahun 2024 viral karena dua keunikannya tersebut. Dusun Wotawati mempunyai letak yang istimewa di sebuah lembah yang merupakan jejak dari aliran Sungai Bengawan Solo Purba. Dengan letak yang demikian, menjadikan matahari terbitnya terlambat dan terbenam lebih cepat.
Beberapa waktu lalu, Dukuh Wota-wati, Roby Sugihastanto menceritakan, berdasarkan informasi yang didapat dari para tokoh Wota-wati, keberadaan padukuhan ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Penduduk pertama yang menginjakkan kaki di tanah bekas lembah Bengawan Solo Purba ini adalah dua orang pelarian dari Kerajaan Majapahit. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Keduanya tinggal di Goa Putri. Untuk bertahan hidup keduanya bercocok tanam di area lembah tersebut. Ketika mencari lahan untuk bercocok tanam, keduanya pun harus melewati sungai kecil yang dahulu ada. Maka, dibuatlah wot dari bambu yang digunakan untuk menyebrang. Saat itu Ny. Arum Sukmawati terpeleset dan di selamatkan oleh Raden Joko Sukmo.
Raden Joko Sukmo membuat jembatan dari wot. Kemudian dari situlah diberinama Wota-wati berasal dari kata Wot yang dibuat untuk menyebrang dan Wati dari kata yang menyebrangi jembatan tersebut.
“Padukuhan ini sudah ada sekitar 200 tahun. Karena berada di lembah atau wilayah cekungan dan diapit oleh bukit maka sinar matahari di wilayah kami terbatas. Pagi terlambat petang terlalu cepat,” ucap Roby.
Adanya potensi yang unik untuk dikembangkan ini dibaca oleh pemerintah provinsi sehingga anggaran miliaran rupiah dikucurkan untuk daerah tersebut. Dimana rencananya paket wisata yang akan ditawarkan kepada wisatawan berfokus pada sejumlah aktivitas seperti menyusuri perkampungan Wotawati yang bergaya antara Majapahit dan Mataram atau Kabupaten Gunungkidul ini.
Mulai dari edukasi bercocok tanam langsung dengan masyarakat, hingga berkeliling susur Bengawan Solo Purba ke beberapa lokasi wisata terdekat yang ada, salah satunya yakni Pantai Ngungap atau Lembah Ngungap.
“Nanti rumah-rumah warga akan kami jadikan homestay. Sehingga tamu yang kesini menginap di rumah warga dan bisa mengikuti aktivitas yang ada. Pembangunan kawasan terpadu ini direncanakan selesai pada 2026 mendatang,” jelas dia.
Sementara itu, Lurah Pucung Estu Dwiyono menyampaikan, Padukuhan Wotawati adalah salah satu dari 10 padukuhan yang ada di Kalurahan Pucung, yang lokasinya terpencil di lembah Bengawan Solo Purba sehingga sulit diakses. Berjarak puluhan kilometer dari pusat kota, padukuhan tertua di Kalurahan Pucung ini justru bisa diangkat baik di sektor pertanian dan pariwisata dengan segala keunikannya.
“Dari sudut pandang yang lain kami melihat potensi pariwisata yang berbeda dari pada tempat lain. Karena padukuhan ini menjadi satu-satunya padukuhan yang ada di Lembah Bengawan Solo Purba. Secara bentang alam dan geografis ini menarik karena diapit perbukitan sehingga paparan sinar matahari cukup minim, bisa jadi hanya terpapar sinar matahari selama 8 jam setiap harinya,” kata Estu.
Tak hanya letak geografis, Estu menyatakan hal yang tak kalah menarik dapat ditemukan di Padukuhan Wotawati adalah tata desa yang secara landscape cukup menarik. Setiap dua hingga empat rumah kanan, kiri, depan, dan belakang memiliki akses jalan penghubung.
Dapat diibaratkan jalan-jalan yang ada di pemukiman Padukuhan Wotawati ini layaknya sebuah labirin berupa gang-gang yang ada di perumahan modern saat ini. Jalan tersebut sebenarnya adalah saluran drainase yang ada kemudian dimanfaatkan untuk jalan dan menjadi terobosan atau ide pendahulu guna mencegah banjir di pemukiman yang ada di Padukuhan Wotawati.
Lebih lanjut ia mengatakan, sejak tahun 2023 Padukuhan ini mendapat alokasi Dana Keistimewaan. Di tahun 2024 lalu, mendapat anggaran sebesar Rp 5 miliar untuk penyusunan dokumen, pembangunan pagar, pembangunan pendopo, dan fasad rumah.
Saat ini, capaian pembangunan pagar sudah mencapai 95 persen. Kemudian pembangunan fasad, dan penciptaan di kisaran 20 persen. Tidak hanya pembangunan fisik saja namun pemerintah juga akan melakukan pembangunan penyiapan SDM khususnya warga masyarakat.
Konsep penataan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati menyesuaikan kondisi eksisting yang terlanjur modern. Untuk pagar menggunakan desain akulturasi antara Majapahit denah Mataram atau Kabupaten Gunungkidul sehingga digunakan material utama bata merah berbentuk arsitektur gaya Gunungkidul berupa Gapura Lar Badak.
Sedangkan konsep penataan fasad atau tampak muka rumah disesuaikan dengan pagar berupa Terakota dengan bata merah. Pembangunan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati ini membutuhkan waktu sedikitnya 3 tahun dengan menyesuaikan ketersediaan anggaran, artinya pengerjaan pada tahun kedua fokus pada fasad seluruh rumah yang berjumlah 79 rumah.
Kemudian di tahun ketiga memasuki tahap finishing mulai dari jalan, drainase, gazebo, gapura, tempat informasi wisata, dan lainnya.
“Kita pilih perpaduan gaya Majapahit dan Mataram karena sesuai cerita tutur dari sesepuh yang ada di Wotawati, masyarakat Wotawati dahulu merupakan pelarian dari Majapahit. Kemudian kita melihat arsitektur Majapahit untuk fasad. Intinya tetap menggunakan gaya Mataram Yogyakarta,” sambung Estu.
Sejak tahun 2024 lalu, saat pembangunan masih berproses sudah ramai pengunjung yang mengambil video dan foto. Selain itu banyak eksplore di Padukuhan Wota Wati untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang padukuhan ini. Tak hanya dari lokal Gunungkidul, namun pengunjung dari berbagai daerah juga datang ke Wota Wati.