Nyadran adalah kenduri memanjatkan do’a kepada Tuhan secara bersama-sama agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan. Sendang Logantung berada di Padukuhan Logantung, Kalurahan Sumberejo Kapanewon Semin, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum Nyadran di sendang, tmasyarakat Logantung melakukan ziarah kubur ke makam leluhur.
Penentuan bulan pelaksanaannya biasanya melalui kesepakatan oleh seluruh masyarakat di desa tertentu. Nyadran merupakan tradisi yang sudah melekat pada masyarakat yang sudah tersebar di seluruh atau semua desa-desa di Jawa, khususnya daerah Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya.
Nyadran memiliki kesamaan dengan Upacara Srada yang pada zaman kerajaan Majapahit (1284) yaitu tradisi masyarakat yang berkaitan dengan memuliakan leluhur yang suduh meninggal. Secara Etimologis Srada berasal dari bahasa Sansekerta ‘cradda’ yang artinya keyakinan, percaya, dan kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sebenarnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunanya.
Keselamatan adalah inti dari permohonan doa yang saat lazim juga disebut dengan ‘selametan’. Keadaan selamat menggambarkan keadaan yang ideal dan bahagia.
Geertz berpendapat bahwa slametan merupakan suatu penegasan dan penguatan kembali tataran kultural umum dan kekuasaannya untuk menahan kekuatan serta kekacauan yang terjadi. Untuk memeriahkan Tradisi Nyadran, masyarakat Sendang Logantung mengemasnya secara cukup dramatis namun tidak berlebihan.
Upacara itu ditunjukkan dengan nilai-nilai yang menghidupkan budaya petani Jawa tradisional, yaitu penyesuaian timbal balik kehendak-kehendak yang interdependen, peredaman ekspresi emosional dan pengaturan perilaku lahir secara berhati-hati.
Kegiatan nyadran bagi warga Dusun Logantung, Desa Sumberejo berguna untuk menciptakan keakraban. Nyadran diawali dengan ritual arak-arakan membawa tampah, yang berisi berbagai macam sedekah makanan tradisional.