Dalam tradisi masyarakat Jawa pada umumnya, upacara adat yang sering disebut dengan Surtanah ini menjadi tanda proses bergesernya kehidupan fana menuju ke alam baka. Sebab, pada dasarnya manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara. Alam akhiratlah yang akan kekal abadi selama-lamanya.
Tradisi Surtanah dilakukan ini juga bisa dijadikan simbol jika manusia yang hidup di muka bumi ini sejatinya berawal dari tanah. Sebab, dahulu manusia pertama di bumi ini diciptakan dari tanah (Nabi Adam). Kemudian, manusia di bumi yang meninggal akan dikembalikan lagi ke tanah. Upacara slametan ini selanjutnya masih akan berlanjut di hari-hari berikutnya setelah hari pemakanan. Dari mulai acara nelung dina (pasaran yang ketiga), nyatus dina (hari yang ke seratus). Selain itu ada juga nyewu (seribu hari orang tersebut meninggal).
Pada umumnya, warga sekitar atau tetangga akan ikut mengatur dan membantu menyiapkan berbagai macam hidangan. Dari mulai membeli berbagai macam bumbu dapur dan menyiapkan kayu bakar untuk memasak. Ada juga yang membantu memotong kambing atau menyiapkan daging ayam untuk menjalankan tradisi tersebut. Berbagai macam hidangan yang disediakan ini tidak hanya untuk kepentingan upacara adat saja. Akan tetapi, hidangan tersebut nantinya juga akan dibagikan dan disantap bersama dengan tetangga sekitar yang ikut serta dalam melancarkan dan membantu prosesi pemakaman.
Tradisi Surtanah ini masih banyak dilaksanakan oleh masyarakat Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mendapatkan musibah pihak keluarganya ada yang meninggal dunia. Akan tetapi, sebagian juga ada yang sudah tidak melakukan tradisi kematian seperti ini.