Gaya Pewayangan di Gunungkidul

Wayang Kulit Adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Masyarakat tradisional Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak bisa dilepaskan dari kesenian Wayang Kulit atau Wayang Purwa ini. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik karawitan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dulu biasanya dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Di Gunungkidul ada tiga gaya wayang, yakni Gaya Yogyakarta, Gaya Surakarta, dan Gaya Campuran. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor:
(1) seringnya even wayangan dengan mendatangkan dalang dari luar daerah, terutama dari Yogyakarta
(2) Pengaruh dari tokoh dalang terkenal Ki Cerma Taryono dari Logandeng yang dikenal dengan Mbah Cermo Logandeng.
(3) Gunungkidul bagian utara adalah wilayah perbatasan DIY-Jateng. Wilayah utara ini ini lebih banyak mendapatkan pengaruh Gaya Surakarta, baik melalui para dalang di Klaten maupun melalui siaran- siaran radio Klaten dan Surakarta yang bisa diterima lebih jernih siarannya daripada radio-radio siaran Yogyakarta.
Tidak ada fanatisme gaya di Gunungkidul, terutama di kalangan muda. Di kalangan tua, meskipun mengakui tidak terlalu menyukai wayang gaya Surakarta, tetapi jika ada pertunjukan wayang bergaya Surakarta tetap saja nonton dan bisa menikmati kepiawaian dalangnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *