Berdasarkan kisah yang berkembang pada masyarakat Wonotoro, upacara adat Madilakiran ini bermula dari Kerajaan Majapahit berperang melawan Kerajaan Demak yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Salah seorang putra dari garwa selir Prabu Brawijaya yaitu Ki Ageng Wonokusumo tidak mau tunduk kepada Kerajaan Demak.
Kemudian melarikan diri menuju ke arah barat yakni ke Jawa Tengah. Selain bertujuan untuk mengungsi juga atas anjuran Prabu Brawijaya bahwa wahyu kraton akan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah untuk selamanya. Maka Ki Ageng Wonokusumo menuruti nasehat Prabu Brawijaya, lalu ia pergi ke Jawa Tengah untuk mengungsi dan mencari wahyu keraton tersebut.
Ki Ageng Wonokusumo melaksanakan perintah Prabu Brawijaya mencari wahyu kraton sampai ke Giring. Namun ia tidak mendapatkan wahyu itu, dan tahu bahwa wahyu sudah jatuh kepada Ki Ageng Giring. Mengetahui hal itu, maka Ki Ageng Wonokusumo pergi meninggalkan daerah Giring. Perjalanan Ki Ageng Wonokusumo akhirnya sampai di hutan Wonoketoro, ia lalu bertempat tinggal di hutan tersebut serta membaur dengan warga sekitar menjadi seorang petani.
Dalam kesehariannya Ki Ageng Wonokusumo lebih pandai ketimbang masyarakat biasa. Selain itu ia juga sangat baik hati, serta suka menolong. Maka maka Ki Ageng Wonokusumo dianggap sebagai cikal-bakal dan pengayom, sekaligus sebagai pemimpin untuk warga wilayah tersebut. Suatu hari ia bertapa di puncak bukit sebuah hutan di daerah Wonontoro. Hingga suatu ketika di bulan Madilakir, waktu itu hari Kamis Legi, Ki Ageng Wonokusumo yang berada di tengah hutan, tiba-tiba hilang moksa dan tidak terlihat lagi di hutan.
Di kemudian hari untuk mengenang Ki Ageng Wonokusumo, setiap hari Kamis Legi atau Senin Legi kira-kira tanggal 20 hingga 25 di bulan Madilakir dilakukan wilujengan ‘selamatan’. Pemilihan hari itu berdasarkan wasiat dari leluhur mereka. Hari Senin Legi diyakini merupakan hari lahirnya Ki Ageng Wonokusumo, sementara hari Kamis Legi dipercaya adalah hari moksanya Ki Ageng Wonokusumo.