Rumah Tradisional Sardjono II letaknya berseberangan dengan Rumah Tradisional Sardjono I di beralamat di Dusun Baros Lor RT 02 RW 02, Desa Monggol, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bangunan ini berbatasan dengan Rumah Pawiro Sentono di sisi utara, rumah Suprabowo di sisi timur, jalan Pantai Selatan jawa di sisi selatan, Rumah Ngatijo dan Purwodihardjo di sisi barat. Bangunan ini memiliki luas 500 meter persegi sementara luas tanahnya adalah 1.203 meter persegi.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuansa Budaya Daerah, rumah tradisional Sardjono (II) merupakan rumah tradisional jawa bergaya Mataram Islam Kerakyatan yang masih asli. Keseluruhan bangunan rumah ini terdiri dari bangunan berbentuk joglo dan limasan.
Merupakan rumah tradisional jawa yang masih asli dan lengkap. Terdiri dari kuncungan, lintring, pendopo, dalem ageng dan gandhok. Pringgitan tidak ada. Gandhok berada di sebelah timur. Lantai dari batu putih persegi. Pada bagian joglo tiang ada 4 dengan atap tumpang sari tingkat 5.Umpak tiang dari batu giring yang dicat hitam. Bagian atap genteng masih asli yaitu menggunakan genteng kripik. Bangunan tidak memakai baudanyang, hanya memakai olor.
Tata ruang, interior dan ornamennya yang sederhana terpelihara sebagaimana mestinya. Seluruh kayu yang digunakan adalah kayu jati tanpa pelitur. Bangunan ini juga masih beralaskan tanah yang dikeraskan. Pada rumah limasan, blandar yang digunakan adalah kayu jati utuh tanpa sambungan.
Bangunan rumah ini terdiri dari 1 (satu) buah bangunan tipe joglo dan 1lsatu) buah bangunan tipe kampung. Bangunan paling depan adalah Joglo dengan 16 buah tiang dari kayu jati. Merupakan bangunan terbuka tanpa dinding dengan lantai dari semen. Di samping bangunan joglo ini ada bangunan tipe kampung yang digunakan sebagai tambahan. Masing-masing saling terhubung.
Pemilihan bentuk bangunan rumah tinggal yaitu Joglo ini menunjukkan masih kuatnya nilai filosofi Jawa yang dianut dan dipercaya oleh pemiliknya pada saat rumah ini dibangun, sekaligus menunjukkan kepercayaan masyarakat pada umumnya saat itu.
Mengacu pada bentuk atap yang mengambil filosofi bentuk sebuah gunung. Pada awalnya filosofi bentuk gunung tersebut diberi nama atap tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap joglo/juglo (tajug loro – dua tajug – penggabungan dua tajug).
Dalam kehidupan manusia Jawa, gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Elemen bangunan joglo ini dapat dibagi menjadi 3(tiga) bagian yaitu: e Kaki : terdiri atas pondasi, lantai dan umpak e Badan : terdiri atas saka guru, tiang, dinding, pintu, jendela dan ventilasi e Kepala : terdiri atas rangka atap, penutup atap dan langit-langit.
Seperti pada bangunan tradisional Jawa lainnya, joglo ini terdiri dari pendopo, pringgitan, dalem ageng dan senthong.
Lantai rumah joglo bagian depan aslinya adalah tanah, namun setelah dilakukan renovasi pada tahun 2015 diperkeras dengan semen. Perkerasan semen ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa bangunan rumah ini sering digunakan untuk tempat berkumpulnya dan
beraktivitas bersama warga masyarakat sekitar sehingga dipandang perlu untuk diperkeras dengan semen yang dianggap lebih bersih, nyaman, dan lebih indah. Namun demikian pada bangunan samping dan dapur masih seperti aslinya yaitu berlantai tanah.