Rumah Tradisional Sardjono I beralamat di Padukuhan Baros Lor RT 02 RW 02, Kalurahan Monggol, Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara astronomis terletak pada koordinat UTM 49L X: 0448739 Y: 9109884. Luas bangunan ini adalah 600 meter persegi sementara luas lahannya adalah 1.150 m2. Bangunan ini berbatasan dengan jalan selatan jawa di sisi utara dan timur, rumah dan pekarangan Sonorejo di sisi selatan, serta rumah dan pekarangan Tri Atmojo di sisi barat.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuansa Budaya Daerah, rumah tradisional Sardjono (I) merupakan rumah tradisional Jawa bergaya Mataram Islam Kerakyatan yang masih asli. Keseluruhan bangunan rumah ini terdiri dari bangunan berbentuk joglo.
Bangunan induk merupakan rumah tradisional jawa yang masih asli dan jengkap. Terdiri dari kuncungan, lintring, pendopo, pringgitan, dalem ageng dan gandhok. Pada bagian joglo tiang ada 4 dengan atap tumpang sari tingkat 4 (empat). Bagian atap genteng masih asli yaitu menggunakan genteng kripik.
Pemilihan bentuk bangunan rumah tinggal yaitu Joglo ini menunjukkan masih kuatnya nilai filosofi Jawa yang dianut dan dipercaya oleh pemiliknya pada saat rumah ini dibangun, sekaligus menunjukkan kepercayaan masyarakat pada umumnya saat itu.
Mengacu pada bentuk atap yang mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada awalnya filosofis bentuk gunung tersebut diberi nama atap tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap joglo/juglo (tajug loro – dua tajug — penggabungan dua tajug).
Dalam kehidupan manusia Jawa, gunung Sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Seperti pada bangunan tradisional Jawa lainnya, joglo ini terdiri dari pendopo, pringgitan, dalem ageng dan senthong. Lantai rumah tradisional ini terbuat dari batu putih persegi berukuran 40 cm x 40 cm dan tersusun rapi.
Dinding semua bangunan baik joglo maupun 2 (dua) bangunan limasan adalah gebyog polosan dari kayu jati, Demikian juga dengan pintu dan jendelanya, sedangkan 1 bangunan Jintring tipe kampung paling selatan tidak berdinding. Semua pintu pada rumah ini tidak memakai engsel besi melainkan slop/sunduk kayu. Pintu berbentuk model dua daun (inep loro) untuk pintu utama dan pintu antara pendopo dan ruang dalam, serta model satu daun (inep siji) untuk pintu-pintu kamar (senthong). :
Umpak pendopo yang menyangga 4 tiang utama terbuat dari batu. 4 tiang utama atau saka guru yang menyangga atap pendopo terbuat dari kayu jati dengan ukuran tinggi 350 cm dan ukuran kayu jati sebesar 15 cm x 15 cm. Hubungan antara saka guru – sunduk – sunduk kili menggunakan sistim purus, sedangkan antara saka guru – pengeret dan blandar menggunakan sistim cathokan. Sistim persendian antara umpak dan saka guru dapat berfungsi untuk mengurangi getaran pada saat bencana gempa bumi, sedangkan sistem purus dan canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap berlaku sebagai bandul.